Kamis, 28 Februari 2008

Wanita Tak Berdaya ? Ah, Masa…

Wanita Tak Berdaya ? Ah, Masa…

“Makanya, jangan sebut dengan wanita, lebih baik perempuan. Karena, kalau istilah wanita dalam terminologi Jawa berarti wani ditoto (berani/sanggup diatur) itu artinya wanita harus menerima saja apa yang digariskan untuknya. Posisi wanita jadi lemah. Pakai sebutan perempuan saja, kesannya lebih sejajar!” begitu kata beberapa aktifis Feminis.

Bukan feminis namanya kalau tidak getol mengibarkan bendera Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Atas nama pembelaan terhadap perempuan, mereka sering meneriakkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap laki-laki tak ada dalam kamus mereka. Setiap kasus yang diangkat selalu ditonjolkan betapa perempuan menjadi korban kekerasan. Bahkan untuk persoalan hukum yang telah diatur oleh agama mereka pun gusar.

Simak saja bagaimana mereka menanggapi keputusan Aa Gym (KH. Abdullah Gymnastiar) untuk berpoligami. Media—terutama elektronik—tak henti-hentinya mengekspos mimik sedih Teh Ninih (istri pertama Aa Gym) ketika berlangsung konferensi pers yang diadakan pihak Aa Gym. Seolah mereka ingin menunjukkan betapa poligami telah menyisakan kekerasan psikologis terhadap perempuan. Pernyataan kerelaan Teh Ninih untuk dimadu dianggap sebagai bentuk ketidakberdayaan (pasrah) perempuan sebagai istri.

Amandemen UU Perkawinan

Dengan serta merta para 'pejuang' perempuan ini menyambut hangat rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merevisi PP 10/1974 yang melarang pegawai negeri berpoligami dan mengamandemen UU no 1/1974 tentang Perkawinan. Semua beleid itu dianggap bias gender. Di antaranya, hak talak ada di tangan suami (laki-laki), kebolehan poligami, adanya masa 'iddah bagi istri dan larangan nikah dengan laki-laki yang beda agama untuk perempuan. Tampak jelas target serangan kaum feminis adalah beberapa hukum syari'at yang menurut pandangan mereka merugikan kaum perempuan.

Mereka menuntut kesetaraan peran antara perempuan dan laki-laki tidak hanya dalam kehidupan intern keluarga, tapi juga dalam kehidupan masyarakat secara luas bahkan di bidang politik. Kuota 30 persen perempuan di parlemen yang ditargetkan pada pemilu 2004 lalu diharapkan dapat mencapai angka setara (ideal equality) antara laki-laki dan perempuan, atau 50 : 50, di masa mendatang.

Gender dan Seks

Gender (jenis kelamin sosial) dan seks (jenis kelamin biologis) adalah konsep yang diusung kaum feminis. Dalam kaitannya dengan pembelaan hak-hak perempuan, karakter biologis perempuan dibedakan menjadi dua, yakni kategori seks dan gender. Seks ditandai dengan tanda biologis yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, yaitu alat kelamin, rahim dan payudara. Tapi tidak seluruh hal yang berkaitan dengan tanda biologis dikategorikan dalam seks, diantaranya aktivitas mengandung, melahirkan dan menyusui (3M). Ketiganya dikategorikan dalam gender.

Pada perkembangan selanjutnya, kaum feminis menuntut keadilan dan kesetaraan gender (KKG) di segala bidang. Agenda gender ini mulai marak sejak Konferensi Perempuan Dunia ke-4 di Beijing tahun 1995. Sejak saat itu digulirkan program pengarusutamaan gender (PUG/Gender Mainstreaming) sebagai suatu strategi dan pendekatan untuk mewujudkan KKG dalam pembangunan. Oleh karena itu segala bentuk pembangunan harus sensitif gender.

Masyarakat berkesetaraan gender didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Bagi mereka, hambatan gender sosiokultural harus dihilangkan. Perempuan memiliki hak berpartisipasi secara sukarela dalam berbagai aktivitas di semua level sebagai mitra sejajar. Perempuan tidak dihalangi menikmati hasil-hasil (benefits) serta sama-sama bertanggung jawab di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya (Vision of Gender Equality, Creating New Values for 21st Century, Council for Gender Equality, 1996).

Kenali Racun Gender

Dewasa ini kehidupan dikuasai pandangan hidup kapitalistik. Segala sesuatu diukur dengan nilai materi. Kehidupan kaum perempuan pun dirasuki paham ini. Maraknya tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di segala bidang atau dikenal dengan istilah Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) adalah salah satu dampak cara pandang kapitalistik ini. Atas nama kesetaraan gender, mereka menuntut perempuan diberi kebebasan dalam menentukan peran.

Sekilas, tuntutan keadilan dan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan sarat dengan pesan-pesan mulia. Namun bila dicermati, KKG justru akan menghancurkan kehidupan masyarakat dari institusi keluarga sendiri. Misalnya suami tak diperbolehkan melarang istri bekerja. Bila ini terjadi, si suami akan dikenakan pasal kekerasan ekonomi. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Bayangkan, betapa banyak suami yang masuk bui gara-gara melarang istrinya bekerja. Padahal, bisa jadi pelarangan itu dilakukan dengan pertimbangan untuk memprioritaskan kebutuhan anak akan pendampingan dan perhatian ibunya. Atau bisa jadi untuk melindungi si isteri dari pelecehan dan kekerasan di lingkungan pekerjaan-nya. Bukankah hal itu justru akan membahayakan keutuhan keluarga?

Di sisi lain, perempuan malah diprovokasi dan digiring keluar rumah (bekerja) yang dikemas dengan istilah 'kemandirian ekonomi'. Dengan demikian, saat istri sibuk bekerja, tidak menutup kemungkinan peran utamanya sebagai istri, ibu dan pengatur rumah tangga, akan terabaikan. Bukankah wajar bila dampak yang kemudian terjadi dari kondisi ini adalah meningkatnya angka perceraian, perselingkuhan, dan anak-anak terlantar dari pengasuhan ibunya?

Dampak nyata kehancuran masyarakat dan generasi ini sudah terbukti di negara yang dipuji-puji UNDP (United Nations Development Program) karena keberhasilannya menerapkan keadilan dan kesetaraan gender, KKG 50:50, yaitu negara-negara Skandinavia. Di negara-negara itu justru terjadi banyak kerusakan struktur sosial. Angka perceraian meningkat sekitar 100 persen dalam waktu 20 tahun; persentase anak yang dilahirkan di luar nikah hampir melebihi 50 persen (menurut The Economics); kenakalan remaja meningkat; kriminalitas meningkat 400 persen (1950-1970); anak-anak yang bermasalah (alkoholik, narkoba dan tindak kekerasan) meningkat 400 persen (1970-1980). Hal tersebut juga terjadi di Amerika Serikat.

Wanita Tetap Berdaya Lho!

Pandangan yang menganggap rendah posisi perempuan sejatinya lahir dari masyarakat Barat yang kapitalistik. Di Barat, perempuan hanya dianggap sebagai warga negara kelas dua. Bahkan perempuan tidak memiliki hak pilih dalam parlemen. Sebagaimana di Amerika, perempuan baru mendapat hak pilih mulai tahun 1970-an.

Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki seperangkat potensi hidup berupa akal dan naluri, sebagaimana laki-laki. Masing-masing mempunyai peran beragam, yaitu sebagai makhluk (hamba) Allah, sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Sebagai hamba, perempuan pun wajib beribadah kepada Allah, sebagaimana laki-laki. Kehidupan keluarga merupakan salah satu media bagi istri, juga suami, untuk beribadah kepada Allah, dengan posisi dan peran masing-masing. Dalam Al Quran ditegaskan bahwa “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa”.

Dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan pun punya tugas besar, sebagaimana laki-laki. Perempuan harus peduli dengan kondisi sekitarnya, di segala bidang baik sosial, pendidikan maupun kesehatan. Karena segala aktivitas perempuan, juga laki-laki, harus bernilai ibadah, maka ketika berkiprah di masyarakat, perempuan harus memperhatikan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, diantaranya soal pakaian di luar rumah. Dan tentu saja, wanita pun tak boleh mengabaikan tugas utamanya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.

Nah! Wanita tetap berdaya, bukan? Wallaahu a'lam.

Kusti/Ummu Azkiya

Tidak ada komentar: